Selasa, 04 Maret 2014

Risma dan Dolly



Dear Ibu Risma, Dolly itu…?



Dear Ibu Risma, bolehkah saya curhat tentang beberapa hal? Saya harap Ibu tidak keberatan. Sebenarnya saya hampir yakin ibu tidak keberatan mendengarkan keluh kesah dan kekhawatiran saya.


Saya mendengar tentang rencana Ibu untuk menutup lokalisasi Dolly. Saya juga banyak membaca latar belakang hingga pada keputusan Ibu mengenai Dolly yang legendaris itu. Miris rasanya melihat fakta yang terjadi di Dolly, serta dampaknya bagi masyarakat secara luas, bahkan ancaman bagi generasi mendatang.


Bagi orang yang pernah ke Dolly, meskipun cuma lewat saja seperti saya, Dolly bak kerajaan antah berantah tak tersentuh hukum. Seperti keberadaan Kampung Ambon di Jakarta Barat yang seperti mencibir gerakan  anti narkotika yang selalu didengung-dengungkan.


Ya, di Dolly, manusia, terutama perempuan seperti tak dimanusiakan. Entah kemana suara orang-orang yang memekikkan religiusitas. Bahkan sebuah ormas keislaman yang biasanya meributkan hal sejenis ini, terutama saat bulan puasa pun sepertinya tak terdengar suaranya, selain kecaman komunitas keagamaan yang berbeda haluan dengan mereka.


Saya yakin Ibu Risma tidak tinggal glanggang colong playu. Tidak semata-mata menutup tempat yang jujur saja memang menjadi ladang sebagian orang untuk mencari nafkah tanpa memberikan solusi bagi mereka. Ibu dan rekan-rekan telah berusaha mempersiapkan bantuan termasuk pelatihan keterampilan bagi pekerja seks agar tidak kembali ke profesi yang lama. Juga upaya memberi wahana untuk berwira usaha bagi mereka, termasuk germonya.


Selamat, Ibu. Belum pernah saya dengar ada walikota Surabaya yang berniat menutup Dolly meskipun kawasan Jawa Timur dikenal kawasan pesantren, termasuk atribut islami yang bertebaran dimana-mana.


Ibu Risma, pagi ini, ketika melintas sepanjang pinggir rel menuju kawasan Stasiun Tanah Abang, tiba-tiba terbersit kekuatiran yang tidak biasa. Hampir tiap hari saya lewat di situ, dan fakta keberadaan petak-petak itu jarang nyangkut di kepala saya. Saya hampir tidak peduli. Sampai tadi pagi.


Pagi yang cukup terik, cuaca terasa panas meskipun belum jam 9. Rumah petak berjajar di sepanjang pinggir rel di kawasan Tanah Abang. Bukan, bukan rumah petak. Lebih tepatnya adalah bilik, karena ukurannya yang mungkin hanya 1,5x1,5 meter persegi. Hampir semua pintu bilik itu dibuka lebar. Dari dalam kereta yang berjalan, terlihat jelas isinya. Ruang kecil dengan sebuah dipan serta sebuah meja. Terlihat lusuh. Seorang perempuan terlihat menyapu di depan salah satu bilik. 


Petak di sepanjang pinggir rel Stasiun Tanah Abang (6/3/2014)


Jengah rasanya melihat keadaan itu. Tidak usah ditanya untuk apa bilik-bilik itu ada di sana, dan sudah berapa lama. Tempat semacam ini, tentu saja tersebar di banyak tempat di Jakarta. Setelah tahun 1999 lokalisasi Kramat Tunggak yang mirisnya merupakan lokalisasi  terkenal se-antero Asia Tenggara ditutup kemudian dibangun dengan Islamic Center di Koja, apakah kemudian masalah selesai? Tidak juga, kan.
 

Semakin lama, rasanya semakin mudah menemukan penjaja seks di jalanan Jakarta. Tidak Cuma ngumpet di tempat hiburan malam. Pastikan lewat di Jalan Gajah Mada Jakarta Pusat (!) selepas maghrib, pasti ada, menawarkan diri dengan begitu bebasnya. Begitu terbuka. Secara ‘telanjang’. Entah apa yang ada di pikiran pemkot dan gubernur serta wakilnya yang sepertinya tidak pernah menyinggung hal ini. Apakah karena sudah dianggap biasa?


Ibu, mungkin fakta penjaja seks seperti itu juga ada di Surabaya. Tapi sungguh saya kuatir jika Dolly ditutup akan bertambah banyak hal sejenis, dengan sebaran yang semakin luas, mungkin. Apa saya menolak penutupan Dolly? Oh, sungguh tidak. Saya hanya berharap ada follow up yang berkelanjutan setelah Dolly ditutup, sehingga tidak membuka peluang terjadi tempat sejenis di lokasi lain meskipun skalanya tidak sebesar Dolly.


Saya yakin, penutupan Dolly tidak akan membuat pembeli seks dan penjajanya seketika berhenti. Mungkin, ada sebagian yang bisa berputar haluan dan beralih profesi, sesuatu yang sulit dan membutuhkan dorongan dan dukungan pemerintah serta masyarakat bersama. Tapi toh, mungkin juga ada yang hanya berpindah lapak di tempat baru. 


Jadi, Ibu Risma, silakan putuskan apa yang perlu. Kami mendukungmu.

Jumat, 14 Februari 2014

Sinabung tertutup Kelud

Letusan Kelud

Baru tau berita Gunung Kelud meletus pagi ini.
Tiba-tiba saja semua heboh. Berita di TV, media online, sosmed. Isinya all about Gunung Kelud.
Sangat mengherankan, karena tidak diduga akan meletus seperti itu.
Dampaknya juga kemana-mana. Tiga bandara ditutup karena terpengaruh abu vulkanik dari
si Kelud ini. Foto-foto yang beredar juga seram.
Tiba-tiba ada kabar presiden mau ke sana.
Hmm... yaa..namanya juga bencana yang berdampak besar di beberapa kota Jatim, DIY dan Jateng, dan sedikit Jabar. Tapiiii...........
Kalo aku pengungsi Sinabung, pasti aku akan sakit hati. Begitulah, kalau bencana terjadi di Jawa,
sepertinya pemerintah cepat tanggap, masyarakat sangat peduli. Mungkin mitigasi bencana di Jawa memang lebih bagus. Mungkin peralatan di sini lebih lengkap. Mungkin informasi bisa beredar dengan sangat cepat di sini. Mungkin .....Mungkin presiden cepat kesini karena tanah kelahirannya pasti terkena dampaknya. Mungkin..........
Tapi, tidakkah sangat terlihat perbedaan yang ada? Berapa lama masyarakat sekitar Sinabung mengungsi hingga akhirnya Presiden kesana? Mengapa masyarakat umum juga tak menaruh perhatian? Mengapa sebagian besar media hanya mengabarkan 'seperlunya' saja? Mengapa baru memperhatikan Sinabung ketika sudah jatuh korban?
Mungkin memang Sinabung jauh dari pemberitaan. Mungkin berita Sinabung kalah seksi dibandingkan mobil-mobil mewah Wawan. Mungkin memang pemerintah lebih tertarik dengan banjir yang menimpa warga di kota istimewa Jakarta. Mungkin memang Sinabung tidak strategis untuk pencitraan. Tapi...mereka juga adalah bagian dari masyarakat Indonesia pembayar pajak yang berhak mendapatkan perhatian dari pemerintah, setara dengan warga di kota lain yang lebih populer.
Jadi, setelah Gunung Kelud meletus, mari kita perbaiki sikap pilih kasih kita.

Rabu, 12 Februari 2014

Kopaja



Cerita si Kopaja


Yaa....akulah salah satu pengguna Kopaja. 

Tiap hari, dari stasiun Tanah Abang menuju kantor di Kedoya, aku naik kopaja 16 jurusan Tanah Abang-Ciledug. Meskipun terpaksa, karena nggak ada angkutan lain, jadilah aku pake mini bus warna hijau putih ini. Eh...ada sih moda lain yang langsung, ojek! Tapi kalo tiap hari ngojek tanah abang-kedoya bengep juga kalee...
Cerita naik kopaja banyak, seru! Dalam artian positif dan negatif. 
Kalau kepanasan, penuh, kursi sobek, sopir ngebut, kayaknya jadi makanan tiap hari deh.
Pernahlah suatu sore, setelah maghrib, aku pulang kantor naik si 16 ini. Sampai dekat masjid, aku mau turun. Tiba-tiba aku merasa orang di sebelah menyenggol-nyenggol. Refleks, aku mundur. Terlihatlah seorang lelaki paruh baya, dengan tas punggung yang ditaruh depan dada, dengan tangannya sebelahnya tersembunyi belakang tas. Alias ini orang mau nyopet. Aku bentakin, orangnya pucet diliatin orang sekitar. Untung nggak kuteriakin copet, bisa langsung diembat orang banyak tuh. Setelah turun, ada lelaki muda yang nanya-nanya sok peduli, tapi dalam hati aku udah curiga...Ah paling kamu juga temen si copet.
Suatu pagi, ganti ngeliat sopir kopaja yang dipalakin petugas Dishub. Kapan hari, baru naik dekat Blok G, penumpang disuruh turun petugas Dishub karena sewaktu pemeriksaan kelengkapan surat, si sopir nggak bisa menunjukkan surat jalan-yang entah apa itu aku nggak tahu.
Lain kali, setelah Kopaja turun jembatan dekat Pasar Slipi, tiba-tiba jalan Kemanggisan arah Budi Raya macet. Entah kenapa juga, nggak biasanya seperti itu. Namanya sopir ‘kreatif’, tiba-tiba dia banting setir ke kanan, nyebrang separator jalan, masuk ke jalan yang entah deh tembus ke perumahan apa. Trus tiba-tiba sampai di jalan Arjuna Selatan! Kopaja terus, lewat Hotel Mega Anggrek sama Pusri, lewat kolong, sampe deh di Arjuna Utara. Lewat dah!
Kalau Kopaja mau ditertibkan, diganti, apapun itu, buat penumpang ga masalah deh, by terms..
Kalau emang nggak layak jalan mau ditarik, yaa tarik aja. Tapi tiap kali narik satu bis, segera ganti dengan bis yang lain. Karena biarpun antara benci dan cinta kopaja, penumpang butuh angkutan. Hilang satu, itu udah berasa banget deh.