Dear Ibu Risma, Dolly
itu…?
Dear Ibu Risma, bolehkah saya curhat tentang beberapa hal? Saya harap Ibu tidak keberatan. Sebenarnya
saya hampir yakin ibu tidak keberatan mendengarkan keluh kesah dan kekhawatiran
saya.
Saya mendengar tentang rencana Ibu untuk menutup lokalisasi
Dolly. Saya juga banyak membaca latar belakang hingga pada keputusan Ibu mengenai
Dolly yang legendaris itu. Miris rasanya melihat fakta yang terjadi di Dolly,
serta dampaknya bagi masyarakat secara luas, bahkan ancaman bagi generasi
mendatang.
Bagi orang yang pernah ke Dolly, meskipun cuma lewat saja
seperti saya, Dolly bak kerajaan antah berantah tak tersentuh hukum. Seperti keberadaan
Kampung Ambon di Jakarta Barat yang seperti mencibir gerakan anti narkotika yang selalu didengung-dengungkan.
Ya, di Dolly, manusia, terutama perempuan seperti tak
dimanusiakan. Entah kemana suara orang-orang yang memekikkan religiusitas. Bahkan
sebuah ormas keislaman yang biasanya meributkan hal sejenis ini, terutama saat
bulan puasa pun sepertinya tak terdengar suaranya, selain kecaman komunitas keagamaan
yang berbeda haluan dengan mereka.
Saya yakin Ibu Risma tidak tinggal glanggang colong playu. Tidak semata-mata menutup tempat
yang jujur saja memang menjadi ladang sebagian orang untuk mencari nafkah tanpa
memberikan solusi bagi mereka. Ibu dan rekan-rekan telah berusaha mempersiapkan
bantuan termasuk pelatihan keterampilan bagi pekerja seks agar tidak kembali ke
profesi yang lama. Juga upaya memberi wahana untuk berwira usaha bagi mereka,
termasuk germonya.
Selamat, Ibu. Belum pernah saya dengar ada walikota Surabaya
yang berniat menutup Dolly meskipun kawasan Jawa Timur dikenal kawasan
pesantren, termasuk atribut islami yang bertebaran dimana-mana.
Ibu Risma, pagi ini, ketika melintas sepanjang pinggir rel
menuju kawasan Stasiun Tanah Abang, tiba-tiba terbersit kekuatiran yang tidak
biasa. Hampir tiap hari saya lewat di situ, dan fakta keberadaan petak-petak
itu jarang nyangkut di kepala saya. Saya hampir tidak peduli. Sampai tadi pagi.
Pagi yang cukup terik, cuaca terasa panas meskipun belum jam
9. Rumah petak berjajar di sepanjang pinggir rel di kawasan Tanah Abang. Bukan,
bukan rumah petak. Lebih tepatnya adalah bilik, karena ukurannya yang mungkin
hanya 1,5x1,5 meter persegi. Hampir semua pintu bilik itu dibuka lebar. Dari dalam
kereta yang berjalan, terlihat jelas isinya. Ruang kecil dengan sebuah dipan
serta sebuah meja. Terlihat lusuh. Seorang perempuan terlihat menyapu di depan
salah satu bilik.
![]() |
Petak di sepanjang pinggir rel Stasiun Tanah Abang (6/3/2014) |
Jengah rasanya melihat keadaan itu. Tidak usah ditanya untuk
apa bilik-bilik itu ada di sana, dan sudah berapa lama. Tempat semacam ini, tentu
saja tersebar di banyak tempat di Jakarta. Setelah tahun 1999 lokalisasi Kramat
Tunggak yang mirisnya merupakan lokalisasi terkenal se-antero Asia Tenggara ditutup
kemudian dibangun dengan Islamic Center di Koja, apakah kemudian masalah
selesai? Tidak juga, kan.
Semakin lama, rasanya semakin mudah menemukan penjaja seks
di jalanan Jakarta. Tidak Cuma ngumpet di tempat hiburan malam. Pastikan lewat
di Jalan Gajah Mada Jakarta Pusat (!) selepas maghrib, pasti ada, menawarkan
diri dengan begitu bebasnya. Begitu terbuka. Secara ‘telanjang’. Entah apa yang
ada di pikiran pemkot dan gubernur serta wakilnya yang sepertinya tidak pernah
menyinggung hal ini. Apakah karena sudah dianggap biasa?
Ibu, mungkin fakta penjaja seks seperti itu juga ada di
Surabaya. Tapi sungguh saya kuatir jika Dolly ditutup akan bertambah banyak hal
sejenis, dengan sebaran yang semakin luas, mungkin. Apa saya menolak penutupan
Dolly? Oh, sungguh tidak. Saya hanya berharap ada follow up yang berkelanjutan setelah Dolly ditutup, sehingga tidak
membuka peluang terjadi tempat sejenis di lokasi lain meskipun skalanya tidak
sebesar Dolly.
Saya yakin, penutupan Dolly tidak akan membuat pembeli seks
dan penjajanya seketika berhenti. Mungkin, ada sebagian yang bisa berputar
haluan dan beralih profesi, sesuatu yang sulit dan membutuhkan dorongan dan
dukungan pemerintah serta masyarakat bersama. Tapi toh, mungkin juga ada yang
hanya berpindah lapak di tempat baru.
Jadi, Ibu Risma, silakan putuskan apa yang perlu. Kami mendukungmu.